Ini apa?

In Construction

Jumat, 27 Mei 2011

                 Tahukah Anda bahwa ilmuwan, filsuf, dan penemu seperti Albert Einstein, Plato, Aristoteles, Socrates, Confucius, Isaac Newton, dan Thomas Edison ternyata semuanya vegetarian? Hal ini menyebabkan para peneliti berusaha menemukan hubungan antara kecenderungan mengonsumsi makanan nondaging dan kecerdasan.

                British Medical Journal menerbitkan hasil penelitian tersebut, di mana peneliti mengukur IQ sejumlah responden pada usia 10 tahun dan kemudian mengikuti perkembangan mereka hingga umur 30 tahun. Data yang ada menunjukkan bahwa mereka yang menjadi vegetarian saat anak-anak memiliki IQ sekitar lima poin lebih tinggi daripada rata-rata orang dewasa yang bukan vegetarian.

                Mereka yang vegetarian juga lebih cenderung memiliki pekerjaan dan gelar yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan, menurut para peneliti, pola makan yang kaya sayuran dan buah-buahan mampu meningkatkan kemampuan otak di antara manfaat kesehatan lain untuk meningkatkan kecerdasan.

               "Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak vegetarian tumbuh lebih tinggi dan memiliki IQ lebih tinggi daripada teman-teman sekolahnya. Risiko untuk penyakit jantung, obesitas, diabetes, dan penyakit lain juga menurun untuk jangka panjang," demikian komentar People for Ethical Treatment of Animals (PETA), lembaga yang mengampanyekan hak-hak binatang.

               Namun, hasil penelitian ini masih menimbulkan pertanyaan. Apakah anak-anak yang cerdas memutuskan akan menjadi vegetarian ketika dewasa nanti, ataukah mereka menjadi vegetarian agar menjadi lebih cerdas? Mereka yang memiliki kecerdasan lebih tinggi mungkin lebih mempertimbangkan isu-isu etika, seperti mengenai kesejahteraan binatang, dan juga manfaat kesehatan dari mengonsumsi banyak sayuran.
        Rute Jakarta-Bekasi menampakkan wajah-wajah seram, bengis, dan egois. Ramainya lalu lintas pagi yang didominasi oleh orang-orang yang berangkat menuju ke tempat kerja benar-benar menyeramkan dan tak bersahabat bagi pengendara sepeda. Kondisi-kondisi "tertindas" itu pula yang dirasakan Kompas Gramedia Cyclist saat bersepeda menuju Yogyakarta dan melewati jalur Jakarta-Bekasi.
Menelusuri kemacetan Jakarta-Bekasi, orang-orang terlihat tegang, selalu ingin cepat, emosional, dan terburu-buru. Rasanya, inilah wajah metropolitan yang sudah berlangsung puluhan tahun lalu. Kemudian, ketika muncul tren bersepeda menuju tempat kerja (bike to work), tak ada jalan khusus yang bersahabat.
Sejatinya, dalam konteks kemacetan yang parah di Jakarta, sepeda tampaknya bisa menjadi salah satu solusi kemacetan, polusi, dan kesemrawutan. Toh, dalam kemacetan, sepeda sering lebih cepat daripada kendaraan bermotor.
        Selain itu, bersepeda adalah salah satu gaya hidup sehat. Contohnya bisa dilihat di Belanda dan China. Herannya, Pemprov DKI Jakarta belum juga menyediakan jalur khusus yang aman dan nyaman bagi pesepeda, kecuali beberapa di jalur lambat, itu pun masih minim.
Para anggota DPR pun lebih suka studi banding yang tak jelas visi dan misinya ketimbang studi banding sepeda yang jelas punya banyak manfaat. Akhirnya, meski sepeda sudah nge-tren, para pesepeda tetap saja menjadi pihak "tertindas" di jalan raya di Jakarta. Tak jarang, sepeda dipepet motor ataupun mobil, seolah tak berhak memakai jalan. berita selengkapnya

        Sungguh menarik artikel yang dimuat Kompas.com ini. Mungkin inilah gambaran para "Orang Pinggiran" yang mencari nafkah di kota megapolitan seperti Jakarta. Bagaimana mereka tidak berperiilaku emosional jika mereka harus dituntut datang tepat waktu dalam bekerja dengan upah yang hanya bisa mencukupi hidupnya sehari-hari.